Hampir sepekan terakhir media cetak maupun online
memberitakan tentang penangkapan terhadap seorang kepala daerah oleh Badan
Narkotika Nasional (BNN) terkait konsumsi sabu alias narkoba. Hal ini sontak menggegerkan
para netizen akibat prilaku sang kepala daerah tersebut.
Diketahui bersama, kepala daerah tersebut bernama Ahmad
Wazir Nofiadi seorang Bupati Kabupaten Ogan Ilir di Sumatera Selatan.
Penangkapan ini terjadi pada hari minggu 13 Maret 2016 di rumah kediamannya.
Mendengar pemberitaan itu, penulis secara tak langsung
berpikir “Kepala daerah kok nyabu”.
Setelah penulis menelusuri profil sang bupati di internet, AW
Nofiadi memiliki karier yang cukup cemerlang di dunia politik. Ia merupakan
seorang bupati termuda di Indonesia yang dilantik pada 17 Februari 2016 lalu dengan
usia yang belum genap 28 tahun. Sebelum menjadi seorang bupati, ia adalah
seorang anggota DPRD Kabupaten Ogan Ilir. Ia juga memiliki latar belakang
pendidikan yang cukup bagus. Pada Oktober 2014, ia lulus kuliah Jurusan
Psikologi di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
Dengan penangkapan ini, lantas membuat lapisan masyarakat
kecewa dengan prilaku sang Bupati, terutama para rakyat pendukung di Pemilukada
kemaren. Yang dimana seorang pemimpin yang seharusnya memberikan contoh bagi rakyat
dan bentindak lebih tegas, justru malah sebaliknya.
Sang bupati telah melanggar Pasal 112 ayat 1 juncto Pasal
127 ayat 1a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Narkotika dengan ancaman
penjara maksimal 12 tahun. Lantas apakah seperti ini sosok seorang eksekutif yang
seharusnya mematuhi dan melaksanakan Undang-Undang Dasar.
Dengan adanya peristiwa ini menarik untuk kita pelajari dari
bebarapa sudut pandang. Pertama,
ditinjau dari sudut sosial, peristiwa ini akan menjadi acuan dalam kehidupan
masyarakat secara luas. Karena seorang kepala daerah yang secara fundamental
harus menjadi contoh dan pemimpin bagi rakyat yang dipimpin, bukan menjadi
pelanggar hukum itu sendiri.
Kedua, ditinjau dari sudut politis, demi menyonsong pemilihan
umum kepala daerah (Pemilukada) 2017, kejadian ini dapat menjadi contoh dan
pelajaran bagi masyarakat pada umumnya dan bagi Partai Politik (Parpol)
pengusung. Untuk masyarakat supaya lebih hati-hati dan lebih selektif dalam
memilih calon kepala daerah, karena pemimpin kaya bukan tidak mungkin ia akan
korupsi, begitupun dengan pemimpin terdidik bukan tidak mungkin ia akan
terjerat narkoba. Dan untuk Parpol pengusung agar dapat menyediakan atau
mendukung kader-kader yang memiliki kredibelitas dan moral yang baik, jangan
hanya melihat dari elektabilitas dan popularitas semata.
Ketiga, ditinjau dari sudut pandang religi, menurut pemberitaan
bahwa total kekayaan AW Nofiadi sebelum menjadi bupati mencapai 20 miliar. Oleh
karena itu, kekayaan yang banyak dan pendidikan yang tinggi belum tentu akan manjadikan
hidup sesorang menjadi lebih tenang dan damai. Dengan adanya peristiwa ini
menandakan aspek moralitas dan religius sang bupati masih cukup lemah.
Sungguh peristiwa ini harus menjadi pekerjaan rumah (PR)
bagi kita semua, baik itu pemerintah, penegak hukum, wakil rakyat, dan
masyarakat itu sendiri. Kita ketahui bersama, bahwa kasus tebesar yang sering
terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini adalah Korupsi dan
Narkoba. Lantas mau dibawa kemana Negara ini, jika pejabat pemerintah saja
mengkonsumsi aktif sabu.
Selama ini Negara selalu sibuk membrantas korupsi-korupsi
yang ada di lembaga pemerintah. Sekarang muncul ancaman baru bahwa pejabat negara
tersandung kasus Narkoba.
Kita ketahui bersama bahwa peredaran dan penyalahgunaan
peredaran narkoba di negeri ini sudah berada pada tingkatan sangat meresahkan.
Barang haram itu sudah menyusup hingga ke berbagai lapisan masyarakat. Terus
mau dijadikan apa Negara tercinta ini?
Oleh karena itu, kebersamaan membrantas Narkoba harus selalu
kita tingkatkan dan mari kita tumbuhkan sikap kepedulian terhadap kemajuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Supaya Negara ini tidak hanya terhambat
perkembangannya akibat dari ulah Narkoba.
Ciputat, 16 Maret 2016
Komentar