*Tulisan
ini dimuat di www.qureta.com
Hampir lebih
satu semester terakhir media sosial dan media-media lainnya sering sekali
memberitakan tentang agama dan kebinekaan. Kedua kata “agama” dan “kebinekaan”
ini sangat mengganggu sekali di telinga penulis, sehingga penulis bertanya di
dalam hati ada apa dengan “agama” dan “kebinekaan”, mengapa kata “agama” dan “kebinekaan”
seolah-olah mengganggu ketenteraman masyarakat Indonesia.
Untuk memahami
kedua kata tersebut, maka penulis harus mencari landasan teori singkat tentang
dua kata tersebut. Kata “agama” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
memiliki arti ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Menurut Gus Dur,
agama itu ajaran yang bersumberkan wahyu dan mempunyai aturan bersifat normatif
dan permanen. Sedangkan kata “kebinekaan” berasal dari kata bineka yang di
dalam KBBI memiliki arti beragam; beraneka ragam; yang kemudian
terjadinya afiksasi ke- dan –an, dan berubah menjadi ke-bineka-an yang di dalam
KBBI memiliki arti keberagaman.
Dari penjabaran
di atas, muncul pertanyaan relasi agama dan kebinekaan. Apakah agama merupakan
bagian dari kebinekaan atau kebinekaan merupakan bagian dari agama? Kebinekaan merupakan
sebuah kemajemukan atau heterogenitas yang barang tentu agama adalah bagian
dari padanya. Sehingga untuk menjaga kebinekaan harus menjaga keragaman agama juga.
Isu-isu
terkait agama dan kebinekaan ini sudah muncul dari dahulu kala, dan hal ini
tidak dapat dipungkiri lagi. Secara historis, di bumi nusantara ini pernah
terjadi pergesekan antar umat beragama, seperti pada awal abad ke-16 merupakan
puncak ketegangan antara Hindu dan Islam yang direpresentasikan oleh ketegangan
antara Majapahit dan Demak maupun Pajajaran dan Banten. Ini menandakan bahwa
isu-isu seperti ini bukan sesuatu yang baru.
Selain itu,
secara historis juga untuk menjaga kebinekaan dengan rela menerima setiap
perbedaan sudah dihembuskan dari masa-masa kerajaan Nusantara, seperti Mpu
Tantular telah merumuskan istilah “Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma
Mangrwa” di dalam buku Sutasoma yang berarti berbeda-beda namun satu, tiada
kebenaran yang mendua. Tujuan Mpu Tantular memformulasikan itu karena demi menjaga
keragaman ekspresi keagamaan di zaman Kerajaan Majapahit. Jadi, gesekan-gesekan
keagamaan dan kemudian ada amanat untuk menjaga kebinekaan, semuanya sudah
pernah terjadi sejak dahulu kala di bumi nusantara ini.
Nusantara
(Indonesia) ini bukan negara yang dimiliki oleh satu agama, tetapi dimiliki
beberapa agama. Seperti yang pernah dikatakan Presiden Indonesia ke-6 Susilo
Bambang Yudhoyono “Indonesia bukan negara agama tetapi Indonesia adalah
negara yang beragama”. Hal ini juga sudah diamanatkan oleh para founding
father Indonesia di dalam perumusan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila
yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”, yang artinya bahwa bangsa Indonesia
percaya akan adanya Tuhan dan wajib menjalani ajaran-ajaran sesuai kepercayaan
masing-masing.
Kemudian
muncul pertanyaan selanjutnya, apakah benar agama itu merusak kebinekaan? Pertanyaan
ini cukup sinis dan prejudice. Namun kita perlu memahami secara seksama
bahwa agama adalah sesuatu yang suci dan sakral. Apakah mungkin kesucian dan
kesakralan memiliki sifat perusak dan penghancur. Oleh karena itu, agama tidak
akan pernah merusak kebinekaan karena agama adalah pedoman hidup yang tentu
akan selalu memiliki kebaikan di
dalamnya, namun siapa yang merusak kebinekaan?
Yang merusak kebinekaan
adalah penganut-penganut agama yang menjual ajaran-ajaran agama demi
kepentingan pribadi dan kelompok, tentu tidak semua pemeluk agama melakukan hal
itu, tetapi sebagian pemeluk agama menggunakan agama sebagai alat politik demi
mencapai tujuannya sehingga akan memunculkan pergesekan antar umat beragama dan
kebinekaan yang selama ini dijaga akan rusak dan hancur.
Agama adalah
sesuatu yang suci dan mengajarkan kebaikan dan kedamaian di dalamnya, apakah
benar demikian? Dan bagaimana agama mengajarkan kebinekaan? Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini dapat dijawab oleh agama apapun. Sebagaimana Sidharta Gautama
mengajarkan tentang personalitas Budha yaitu tindakan tanpa kekerasan, tiga
tanda, pengabaian keinginan, dan status tertinggi bagi percarian nirwana. Nirwana
adalah kebebasan tubuh, ujaran, dan pikiran secara total dalam kesempurnaan
kebijaksanaan, cinta, dan energi.
Begitu juga
dengan Konfusius di dalam Konfusianisme yang mengajarkan sebuah kebaikan yang
memberikan keindahan kepada sebuah komunitas. Yesus juga mengajarkan kita bahwa
orang-orang di sekitar kita adalah sesama kita, bukan musuh. Jadi, berbuat
baiklah kepada siapa pun yang memerlukan pertolongan.
Nabi
Muhammad juga mengajarkan umatnya tentang menyayangi makhluk yang ada di bumi,
niscaya kamu akan disayangi makhluk yang ada di langit. Kemudian ia juga
mengajarkan bahwa Islam itu menyebarkan kasih sayang kepada seluruh alam (rahmat
lil alamin).
Oleh karena
itu, semua agama selalu mengajarkan kedamaian, kebaikan, kasih sayang, dan
cinta antar sesama. Bagaimana mungkin
agama akan merusak sebuah kebinekaan yang di dalamnya banyak kebaikan.
Kita akui
bersama, bahwa agama merupakan sebuah identitas bagi setiap pemeluknya. Bagi pemeluknya,
kebenaran agama adalah kebenaran hakiki dan harus dipatuhi serta dilaksanakan,
sehingga ketika kita membicarakan masalah agama adalah sebagai peretak dan pemecah belah bangsa, penulis merasa hal
ini merupakan sebuah tendensius yang berlebihan, karena agama memiliki sensitif
yang tinggi bagi pemeluknya.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa kebinekaan adalah sebuah kemajemukan dan agama merupakan
bagian di dalamnya. Merawat keberagaman pemeluk agama sama dengan merawat
kebinekaan yang merupakan semboyan negara. Agama tidak akan pernah merusak maupun menghancurkan kebinekaan,
karena semua agama itu suci dan sakral yang selalu mengajarkan kedamaian dan
cinta antar sesama, namun apabila kebinekaan rusak dan hancur, itu bukan
disebabkan oleh agama tetapi pemeluk agama yang memiliki kepentingan pribadi
atau kelompok.
Terakhir,
mengutip pidato Soekarno pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945, ia mengatakan bahwa
apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk
suatu golongan? Kita hendak mendirikan suatu negara “semua untuk semua”.
Komentar