Langsung ke konten utama

Kabut Asap Menjadi Musuh Masyarakat

Berbagai jenis surat kabar yang memberitakan dampak asap terhadap kelangsungan hidup masayarakat. Berita ini telah disiarkan dari berbagai media, baik itu media online maupun media cetak sejak pertengahan agustus lalu, setelah beberapa pekan umat muslim merayakan hari raya Idul Fitri.
Bencana kabut asap terjadi di beberapa provinsi di pulau Sumatera kemudian menjalar di beberapa kota di pulau Kalimantan. Ini merupakan bencana alam yang telah berlangsung dari empat bulan terakhir. Berbagai cara telah diupayakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam mengatasi hal ini, serta juga bantuan dari pihak swasta maupun negara-negara sahabat.
Menarik untuk dicermati akan faktor terjadinya kabut asap ini, yaitu telah diketahui bersama bahwa adanya oknum-oknum yang dengan sengaja membakar hutan-hutan untuk pembukaan lahan baru demi menanam bibit-bibit perkebunan baru. Hal ini juga didorong dengan terjadinya musim kemarau yang sangat panjang di kawasan tropis seperti Negara Indonesia ini. Sehingga para petani-petani dan perusahaan perkebunan membakar lahan hutan supaya bisa menanam bibit-bibit yang baru.
Adapun akibat dari kebakaran hutan berdampak pada kabut asap yang bertebaran dimana-mana, bahkan kabut asap pun bertebaran ke negara-negara tetangga. Sehingga kabut asap sekarang menjadi anti atau musuh masyarakat. Karena proses kelangsungan hidup mereka terganggu dan berdampak terhadap kesehatan masayarakat. Sesuai dengan berita akhir-akhir ini, beberapa akibat dari kabut asap yaitu terjangkitnya infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) yang telah dialami oleh ratusan masyarakat di pulau Sumatera dan bahkan ada yang beberapa orang yang telah meninggal dunia, termasuk diantaranya para balita.
Dengan ada bencana ini, dapat kita lihat dari beberapa sudut pandang. Pertama, dari sudut religi telah kita ketahui bersama bahwa kerusakan alam di muka bumi ini adalah akibat dari ulah tangan manusia sebagimana hal ini telah termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an bahwa “telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia”. Hal ini menunjukkan bahwa gaya kehidupan beragama belum dilaksanakan secara baik oleh masyarakat Indonesia, ini dibuktikan dengan adanya bencana-bencana yang sengaja dibuat-buat oleh manusia itu sendiri. Karena jika kehidupan beragama ini sudah terlaksana dengan benar, baik itu secara individu maupun kelompok, niscaya hal seperti ini sulit akan terjadi.
Karena agama marupakan salah satu pedoman dalam menjalin hubungan antar sesama manusia maupun hubungan manusia dengan alam. Agama adalah tempat berteduh sehingga kejadian seperti pembakaran hutan dapat dihalangi oleh orang-orang yang paham akan agama, karena ia akan memikirkan kenyamanan orang lain tanpa adanya rasa egois dan individualis. Sehingga pencemaran udara melalui kabut asap dan dampak dari kebakaran hutan tidak akan terjadi.
Kedua, ditinjau dari sudut hukum, ini sudah jelas melanggar Undang-Undang. Pelaku pembakaran hutan dapat dipidanakan dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, pelaku dapat dipidanakan paling lama lima belas tahun dan denda paling banyak lima miliar. Selain itu pelaku juga bisa dikenakan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan yang menyatakan apabila pembakaran dengan sengaja diancam pidana paling lama tiga tahun dan denda tiga miliar. Dari pernyataan tersebut sudah membuktikan bahwa pembakaran hutan adalah salah satu perbuatan yang dilarang oleh negara terutama pembakaran yang dengan sengaja, karena ini sangat berdampak pada masyarakat lain yang terkena imbas dari perbuatan tersebut.
Kejadian seperti ini sangat berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat, dan ini secara hukum telah melanggar hak azazi manusia. Mengapa demikian? Kebakaran hutan yang berhektar-hektar berdampak pada kabut-kabut asap yang bertebaran dimana-dimana, dan mencemar udara segar. Sehingga ini berdampak pada kesulitan mencari udara segar dan susah dalam pernafasan. Kesulitan bernafas akibat asap secara tak langsung sudah melanggar hak-hak orang untuk hidup. Sehingga ini juga sudah melanggar Undang-Undang tentang Hak Azazi Manusia.
Kita amati bersama, hukum telah dinyatakan untuk ditegakkan, tetapi dalam pelaksaannya masih saja tidak sesuai dengan operasional pelaksanaan, oknum-oknum pembakar hutan masih aja bertebaran, padahal itu sudah jelas melanggar hukum. Ini adalah representasi dari pemerintahan yang belum bisa secara optimal dalam menyelasaikan masalah ini, dan ini juga merupakan cerminan dari belum ada kecapakapan pemerintah dalam menyelesaikan tugas-tugasnya dalam negeri.
Ketiga, ditinjau dari sudut sosial, bencana panjang seperti ini sangat mengganggu aktivitas masyarakat yang terkena dampak kabut asap ini, seperti Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Palangkaraya. Aktivitas pembelajaran di sekolah sangat terganggu, sehingga pemerintah setempat menyarankan untuk meliburkan sekolah untuk beberapa waktu, ini jelas menggangu proses belajar mengajar. Dalam berkendaraan, kabut asap juga sangat mengganggu, karena jarak pandang yang semakin pendek membuat kemungkinan rawan kecelakaan semakin besar. Aktivitas masayarakat di luar rumah harus dikurangi karena akan berdampak pada kesehatan, terutama dalam pernafasan.
Dari beberapa sudut pandang diatas, bencana seperti ini tidak harus terjadi di masa yang akan datang. Ada beberapa hal yang dapat kita petik yaitu, kehidupan beragama hanya sebatas seremonial semata, tidak diaktualisasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Dan juga jiwa keagamaan sebagian masyarakat Indonesia belum dihayati secara baik dan benar. Kemudian hukum di Indonesia belum berperan aktif dalam mengatasi penjahat-penjahat hutan, mungkin kekuatan materi hukum yang belum memadai atau pelaksana hukum yang belum siap. Dan sikap tenggang rasa masih belum diterapkan secara maksimal oleh sebagian masyarakat, hal ini di buktikan dengan adanya para pembakar hutan tidak memikirkan nasib masyarakat yang terkena kabut asap.
Oleh karena itu, upaya pemerintah dalam mengatasi hal ini belum juga selesai dikarenakan masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan sehingga untuk mengatasi kabut asap di pulau Sumatera dan Kalimantan pun masih belum tahu kapan akan selesai. Sehingga kabut asap sampai sekarang masih menjadi musuh masyarakat.
 Ciputat, 05 Nopember 2015


*Mheky Polanda, Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jenis-jenis Sastra Arab

Dalam arti kesusastraa, adab  (sastra) terbagi menjadi dua bagian besar: al-adab al-wasfi (sastra deskriptif) dan al-adab al-insya'i  (sastra fiksi). Al-adab al-wasfi terdiri dari tiga bagian: sejarah sastra ( tarikh al-adab ), kritik sastra ( naqd al-adab ), dan teori sastra ( teori sastra ). Kritik sastra adalah bagian dari al-adab al-wasfi  yang memperbincangkan pemahaman, penghayatan, penafsiran, dan penilaian terhadap karya sastra. Teori sastra ialah bagian al-adab al-wasfi yang membicarakan pengertian-pengertian dasar tentang sastra, dan perkembangan serta kerangka pemikiran para pakar tentang apa yang mereka namakan sastra dan cara mengkajinya. Sementara sejarah sastra ialah bagian al-adab al-wasfii  yang memperlihatkan perkembangan karya sastra, tokoh tokoh, dan ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan tersebut. Adapun al-adab al-insya'i  adalah ekspresi bahasa yang indah dalam bentuk puisi, prosa, atau drama yang menggunakan gaya bahasa yan...

Fenomena Bahasa dalam Linguistik

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak lepas dari yang namanya bahasa, tentu hal ini telah menjadi suatu kebiasaan. Bahkan kadang kita tidak menyadari bahwa bahasa itu telah ada pada diri kita, dan bagaimana cara kita menyampaikan informasi, pikiran ataupun perasaan kepada orang lain. Bahasa merupakan sebuah femonena yang hadir dalam segala aktivitas kehidupan, karena untuk mendapatkan sebuah bahasa adalah sebuah keniscayaan yang tidak kita sadari. Bahasa adalah pesan yang ingin disampaikan dari komunikan kepada komunakator berupa lambang-lambang atau simbol-simbol.  Secara lazim orang menyebutkan ilmu bahasa adalah linguistik yang mana menetapkan bahasa sebagai objek kajiannya. Menurut Ibnu Jinni, bahasa adalah bunyi yang diperoleh setiap komunitas untuk mengungkapkan maksud dan tujuan (Hidayatullah, 2012). Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan pengertian “bahasa” salah satunya yaitu, sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggot...

UTS Yang Mengecewakan

Kejadian ini terjadi pada hari Rabu 08 Mei 2013, kami melaksanakan ujian tengah semester dengan mata kuliah Sejarah Peradaban Islam. Banyak diantara kami yang tidak menyukai sistem pembelajaran yang dilakukan oleh sang Dosen, karena kami menganggap sang Dosen itu mengajar mata kuliah ini terlalu menekan agar kami bisa mengerti dan memahami dengan mata kuliah ini, padahal kami ini bukan jurusan sejarah. Kami hanya diberikan 5 butir soal, tetapi untuk menjawabnya butuh beberapa lembar kertas jawaban, sehingga hal ini membuat kami bingung bagaimana cara menjawab 5 soal dalam waktu satu jam. Sehingga diantara kami banyak yang menjawab soal dengan asal-asalan, ada juga yang menjawab soal dengan waktu yang panjang dalam satu soal. Setelah satu jam berlalu, kami dipaksa mengumpulkan jawaban. Setelah dikumpulkan, ternyata banyak diantara kami yang tidak menyelesai jawaban dengan lengkap karena waktu yang diberikan tidak cukup lagi. Hal inilah yang membuat kami merasa lucu, karena ban...