Langsung ke konten utama

Jenis-jenis Sastra Arab

Dalam arti kesusastraa, adab (sastra) terbagi menjadi dua bagian besar: al-adab al-wasfi (sastra deskriptif) dan al-adab al-insya'i (sastra fiksi). Al-adab al-wasfi terdiri dari tiga bagian: sejarah sastra (tarikh al-adab), kritik sastra (naqd al-adab), dan teori sastra (teori sastra). Kritik sastra adalah bagian dari al-adab al-wasfi yang memperbincangkan pemahaman, penghayatan, penafsiran, dan penilaian terhadap karya sastra. Teori sastra ialah bagian al-adab al-wasfi yang membicarakan pengertian-pengertian dasar tentang sastra, dan perkembangan serta kerangka pemikiran para pakar tentang apa yang mereka namakan sastra dan cara mengkajinya. Sementara sejarah sastra ialah bagian al-adab al-wasfii yang memperlihatkan perkembangan karya sastra, tokoh tokoh, dan ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan tersebut.

Adapun al-adab al-insya'i adalah ekspresi bahasa yang indah dalam bentuk puisi, prosa, atau drama yang menggunakan gaya bahasa yang berbeda dari gaya bahasa biasa, karena mengandung aspek estetika bentuk dan makna (memuat rasa, imajinasi, dan pikiran), sehingga mempengaruhi terutama rasa, bahkan juga pikiran penikmatnya (pembaca atau pendengar) dan kekuatan isi sebagainya mengajak mereka pada hal-hal etis.

Secara umum, al-adab al-insya'i (sastra kreatif Arab) dibagi ke dalam tiga bagian besar: puisi (as-syi'r), prosa (nasri), dan drama (al-masrahiyyah). Ketiganya akan dijelaskan nanti, meski yang ditekankan dua saja (puisi dan prosa).

Perbedaan al-adab al-wasfi (sastra deskriptif) dan al-adab al-insya'i: pertama, meskipun dalam membaca dan memproduksi al-adab al-wasfi membutuhkan unsur rasa dan imajinasi, tetapi dua hal ini didalamnya lebih kecil dibandingkan pada al-adab al-insya'i. Kedua, al-adab al-insya'i menjelaskan realitas secara langsung dan bersifat subjektif, sementara al-adab al-wasfi menjelaskan realitas secara tak langsung, karena yang dibahasnya adalah realitas yang ada pada al-adab al-insya'i dan harus bersifat objektif, meski dalam karya sastra yang bukan fantastik, seperti pada karya realis, harus juga dirujuk pada realitas di luar karya sastra (kebenaran eksternslnya) juga.


Sumber: Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fenomena Bahasa dalam Linguistik

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak lepas dari yang namanya bahasa, tentu hal ini telah menjadi suatu kebiasaan. Bahkan kadang kita tidak menyadari bahwa bahasa itu telah ada pada diri kita, dan bagaimana cara kita menyampaikan informasi, pikiran ataupun perasaan kepada orang lain. Bahasa merupakan sebuah femonena yang hadir dalam segala aktivitas kehidupan, karena untuk mendapatkan sebuah bahasa adalah sebuah keniscayaan yang tidak kita sadari. Bahasa adalah pesan yang ingin disampaikan dari komunikan kepada komunakator berupa lambang-lambang atau simbol-simbol.  Secara lazim orang menyebutkan ilmu bahasa adalah linguistik yang mana menetapkan bahasa sebagai objek kajiannya. Menurut Ibnu Jinni, bahasa adalah bunyi yang diperoleh setiap komunitas untuk mengungkapkan maksud dan tujuan (Hidayatullah, 2012). Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan pengertian “bahasa” salah satunya yaitu, sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota su

Idul Adha dengan Mendekatkan Diri Kepada Allah

Idul Adha adalah sebuah perayaan besar bagi umat muslim di dunia. Pengertian Idul Adha secara etimologi ialah hari raya kurban, yang mempunyai makna yaitu meyembelih hewan kurban baik berupa sapi, kerbau, onta, kambing dan onta. Yang mana dagingnya nanti diberikan kepada para faqir dan miskin. Tujuan dari kurban ini adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kata kurban itu sendiri berasal dari bahasa arab yaitu  Qaraba-Yaqrobu-Qurban , yang mempunyai arti "dekat" yang dalam pengertian lain mendekatkan diri kepada sang Khaliq. Nabi Ibrahim AS pernah mendapat cobaan yang sangat berat saat diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih anaknya Nabi Ismail AS dari istrinya Siti Hajar. Nabi Ibrahim berkata kepada Nabi Ismail dengan hati yang berat "Hai anakku, aku bemimpi bahwasanya Allah memerintahku untuk menyembelihmu" lalu Nabi Ismail menjawab "Jika itu memang perintah dari Allah laksanakan ayah". Ketika itu usia Nabi Ismail sekitar 9 tahun.